Aku teringat budaya massa yang pernah disinggunggung oleh temanku.Tapi ketika temanku itu menyinggung soal budaya massa aku lupa bertanya apa yang dimaksud dengan budaya massa.Karena penasaran saat aku jumpa dengan temanku tanpa basa-basi langsung aku nyosor bertanya tentang budaya massa yang pernah disingungnya.Jika temanku itu sempat bercerita yang lain kemungkinan besar aku akan lupa menanyakan budaya massa itu.
Atas pertanyaanku, lantas temanku mulai bercerita tentang budaya massa lebih kurang seperti ini :
Mengenai kebudayaan massa, istilah itu merupakan versi Indonesia untuk terjemahan dari mass culture.Istilah ini konon berasal dari bahasa Jerman mass dan kultur. Sebenarnya istilah kebudayaan massa, merupakan istilah yang mengandung nada mengejek atau merendahkan.Istilah itu merupakan pasangan dari high culture, kebudayaan elit, kebudayaan tinggi.
Biasanya, istilah kebudayaan tinggi diacukan tidak hanya ke berbagai jenis kesenian produk simbolik yang menjadi pilihan kaum elit terpelajar dalam darimasyarakat Barat, tetapi juga ke segala sesuatu yang ada kaitannya dalam pikiran dan perasaan mereka yang memilih jenis kesenian dan produk simbolik tersebut.
Sebaliknya, mass atau masse mengacu ke mayoritas masyarakat eropa yang tak terpelajar dan non-aristokratik.Yakni mereka yang sekarang biasa disebut sebagai kelas menengahbawah, kelas pekerja, dan kaum miskin.Dengan demikian jika kebudaayan tinggi dikaitkan denganmereka yang berbudaya, yang elit dan terpelajar, maka istilah kebudayaan massa dianggap milik mayoritas masyarakat tak berbudaya dan tak terpelajar.
Dalam ilmu sosiologi, isitilah massa mengandung pengertian kelompok manusia yang tak bisa dipilah-pilah, bahkan semacam kerumunan (crowd) yang bersifat sementara dan dapat dikatakan: segera mati.
Dalam kerumunan, identitas seseorang biasanya tenggelam. Masing-masing akan mudah sekali meniru tingkah laku orang-orang lain yang sekerumunan. Puncak dari tingkah laku mereka akan dilalui, katakanlah maksudnya selesai, apabila secara fisik mereka sudah lelah dan tujuan bersamanya tercapai.
Begitu juga keadaannya denga kebudayaan. Kebudayaan massa lebih kurang menunjuk pada berbagai produk dan paktik kultural yang melibatkan sekumpulan besar orang tanpa organisasi sosial, adat, tradisi, struktur status dan peran, tidak memiliki kompetensi dalam menilai kualitas suatu produk budaya, dan juga berselera dangkal.
Bagi mereka yang terjerat didalamnya, produk-produk dari kebudayaan massa adalah komoditas yang semata-mata ditujukan untuk konsumsi (dan celakanya) tanpa mereka sendiri memiliki kesanggupan untuk menolaknya-meskipun umur produk-produk itu relatif sementara.
Menurut Kuntowidjoyo dalam tulisannya Budaya Elit dan Budaya Massa suatu produk budaya dapat dilihat dari ciri-ciri yang selalu menyertainya.Sebab kebudayaan massa adalah akibat dari masifikasi.
Masifikasi terjadi bila orang banyak memakai simbol lapisan atas melalui proses industrialisasi dan komersialisasi.
Ciri pertama adalah objektivasi; artinya pemilik hanya menjadi objek, yaitu penderita yang tidak mempunyai peran apa-apa dalam pembentukan simbol budaya.Ia hanya menerima produk budaya sebagai barang jadi yang tidak boleh berperan dalam bentuk apapun. Ciri kedua adalah alieanasi, artinya pemilik budaya massa akan terasing dari dan dalam kenyataan hidup.Dengan demikian ia juga kehilangan dirinya sendiri dan larut dalam kenyataan yang ditawarkan oleh produk budaya.
Ciri ketiga adalah pembodohan, yang terjadi karena waktu terbuang tanpa mendaptkan pengalaman baru yang dapat dipetik sebgai pelajaran hidup yang berguna jika ia mengalami hal serupa.
Menurut Sapardi Joko Darmono dalam tulisannya Kebudayaan Massa dalam Kebudayaan Indonesia.Yang dirisaukan adalah : Pertama, kebudayaan massa diproduksi secara besar-besaran berdasasrkan perhitungan dagang belaka; Kedua, kebudayaan massa itu merusak kebudayaan tinggi dengan cara meminjam atau mencuri atau memperalatnya; Ketiga,kebudayaan massa menanamkan pengaruh yang sangat buruk terhadap khalayak;dan keempat, penyebarluasan kebudayaan massa dianggap tidak hanya memerosotkan atau mengurangi kebudaay tinggi itu sendiri, tetapi juga menciptakan khalayak yang pasif yang sangat tanggap terhadap teknik godaan dan bujukan.
Dalam kebudayaan tinggi dapat dilihat ciri-cirinya ; pertama, pemiliknya tetap menjadi pelaku; kedua, tidak mengalami alienasi; ketiga, jati dirinya tetap; dan keempat, akan mengalami/terjadi pencerdesan.
Ternyata apa yang diceritakan temanku itu adalah apa yang dibacanya dari tulisan Nur Hamzah yang dimuat media Indonesia edisi Sabtu, 7 Januari 2006 halaman 10.
Tulisan diatas menjadi perhatian temanku karena salah satu "pengrusakan budaya tinggi" di negeri ini.Temanku itu mulai melihat bahwa masyarakat kebanyakan dinegeri ini perannya semakin berkurang dalam misalnya dalam dunia perdangangan di negeri ini.
Ketika kelompok itu menguasai sektor perdagangan selanjutnya dengan kekuatan itu mereka mempengaruhi penentuan kebijakan dalam bidang pemerintahan.Modusnya menawarkan hal-hal menarik kepada para pejabat.Dan pada akhirnya sepertinya jadi atau tidak jadinya seorang menjadi pejabat di negeri ini sangat tergantung pada kehendak mereka.
Dan masih menurut temanku itu keadaan tersebut merupakan akibat lanjutan dari budaya massa.Kebudayaan tinggi Indonesia dirusak.
Pemilik kebudayaan tinggi Indonesia menjadi objek karena ditawarkan produk kebudayaan mereka (misalnya pakaian rok mini, berpakaian seba kelihatan/terbuka), bahasa (coba perhatikan istilah "gocap" untuk pungutan sebesar Rp.50.- tambahan bagi harga penjualan minyak tanah yang sempat menjadi permasalahan dinegeri ini,.
Dan jika anda tinggal di Jakarta, Medan atau kota-kota besar lainnya di Indonesia tidak jarang terdengar istilah "gocap, cipek, gopek," untuk menyebut lima puluh, seratus, dan lima ratus.
Sungguh aku terasing mendengar istilah "gocap, cipek, gopek", sebab sepengetahuan ku istilah tersebut bukan berasal dari bahasa daerah Indonesia. Istilah itu bukan dari bahasa Aceh, bukan dari bahasa Batak, bukan dari Bahasa Melayu, bukan dari bahasa Jawa, bukan dari bahasa Dayak, bukan dari bahasa Banjar, bukan dari bahasa Bugis, bukan dari bahasa Toraja, bukan dari bahsa Mendao, bukan dari bahasa asmat dari atau bukan dari bahasa daerah-daerah di Indonesia.Istilah itu bukan dari kebudayaan tinggi indonesia.
Dan masih menurut temanku itu, akibat lanjutan dari budaya massa itu adalah kecenderungan masyarakat melanggar hukum (mengendarai kendaraan serampangan). Cenderung korupsi sebab pejabat terasing (alienasi) di negerinya~tidak merasa memiliki negeri. Selanjutnya hutan dibabat (penebangan liar, penggundulan hutan). Masyarakat menjadi konsumtif.Tidak mau perduli (pembodohan) akhirnya menjadi anarkhis.
Untuk mencegah agar budaya massa tidak berlanjut, sebaiknya pejabat departemen pendidikan dan kebudayaan segera membuat peraturan larangan embatasa penggunaan produk budaya asing di Indonesia seperti bahasa dan huruf/aksara China, dan istilah-istilah asing pada tempat-tempat atau ruang publik di negeri ini.
Dan kepada pemilik kebudayaan tinggi Indonesia temanku itu menghimbau agar mempelajari budaya tinggi Indonesia dan melakoninya dalam hidup dan kehidupan sehari-hari seraya berusaha untuk meningkatkan budaya tinggi Indonesia itu.
Lepaskan dan tinggalkan budaya massa!!!
Pelihara dan tingkatkan kebudayaan tinggi Indonesia.Dengan terpelihara, lestarinya dan meningkatnya kebudaya tinggi Indonesia Insya allah Raya lah Indonesia.