RAYA INDONESIA

Monday, May 21, 2007

Kembali Kejatidiri.


Jum'at, 18 Mei 2007
EDITORIAL
Krisis Calon Hakim Agung

MUTU hakim agung menentukan maju mundurnya sebuah negara. Makin maju negara itu, hampir dipastikan di sana ada supremasi hukum karena ditopang hakim agung berkualitas. Hukum dipatuhi dan dihormati sebagai koridor utama bagi segala bentuk interaksi warga dan lembaga.
Sebaliknya, di negara yang belum menjadikan supremasi hukum sebagai panglima, seperti Indonesia, hampir dipastikan di sana banyak muncul kesemrawutan dalam segala jenjang interaksi. Hukum belum dihormati dan dipatuhi, tetapi justru kerap dipermainkan. Bahkan, yang lebih konyol lagi, hukum tidak jarang diperjualbelikan.
Itu sebabnya, seleksi calon hakim agung oleh Komisi Yudisial dipandang sebagai tahap esensial dan krusial dalam upaya mewujudkan supremasi hukum. Sebab, sejatinya mereka yang bakal berkantor di Mahkamah Agung itu merupakan manusia-manusia unggulan.
Seleksi calon hakim agung kali ini merupakan tahap lanjutan. Tahun lalu, hasil seleksi Komisi Yudisial menghasilkan enam calon hakim agung dari total 103 orang yang mendaftar.
Namun, oleh DPR hasil seleksi tersebut dikembalikan kepada Komisi Yudisial (KY) karena tidak memenuhi kuota seperti yang ditentukan. Dari enam posisi lowong di Mahkamah Agung, semestinya Komisi Yudisial mengajukan 18 nama calon hakim agung untuk dipilih oleh DPR menjadi enam kandidat.
Seleksi kedua tahun ini diikuti oleh 59 kandidat. Dari jumlah itu yang lolos hingga tahap wawancara hanya 16 orang. Untuk melengkapi hasil seleksi pertama tahun lalu (enam kandidat) hingga 18 orang, Komisi Yudisial harus memilih 12 dari 16 kandidat tersisa. Sebagian besar berasal dari jalur hakim karier dan sisanya dari jalur nonkarier.
Model perekrutan calon hakim agung oleh Komisi Yudisial memang masih tergolong baru. Sebelumnya, seleksi itu dilakukan oleh Mahkamah Agung. Dan, seperti tahun lalu, seleksi kali ini juga mendapat sorotan banyak kalangan.
Dari hasil wawancara dengan Komisi Yudisial terungkap bahwa mutu sebagian calon hakim agung tersebut sungguh sangat memprihatinkan. Mereka yang berasal dari jalur karier lemah di bidang pengetahuan hukum. Sedangkan mereka yang berasal dari jalur nonkarier kurang paham tentang pengetahuan hal-hal teknis hukum.
Selain itu, ada juga calon yang berprofesi ganda. Selain bekerja di pengadilan tinggi, juga menjadi penasihat hukum pemda setempat. Ada juga calon yang mengumpulkan dana dari rekan-rekan seprofesi hanya untuk membeli kendaraan dinas yang mereka anggap pantas. Dengan kata lain, banyak calon hakim agung yang masih menjadi bagian dari benang kusut judicial corruption yang di Republik ini memang akut.
Padahal, konstitusi secara tegas mensyaratkan para hakim agung adalah manusia-manusia unggulan. Ia memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang hukum.
Kesulitan mendapatkan calon hakim agung berkualitas semestinya membuka mata banyak pihak. Bahwa ada yang salah dengan sistem perekrutan dan pendidikan hakim di Tanah Air, itu harus segera dibenahi. Komisi Yudisial juga tidak boleh meloloskan calon hakim agung hanya untuk memenuhi kuota sesuai ketentuan.
Republik ini membutuhkan hakim agung yang memiliki banyak energi baru untuk mengakselerasi reformasi di bidang peradilan dan punya komitmen kuat untuk membangun supremasi hukum.
***
Komentar atas Editorial tersebut.

Masalah kualitas hakim agung atau hakim secara umum yang disebut-sebut merosot atau memprihatinkan sesungguhnya hanyalah salah satu dari kemerosotan yang dialami dan terjadi ditengah-tengah bangsa ini.

Jika mau jujur dan ditelaah secara jernih dan mendalam, kemerosotan kualitas manusia Indonesia terlebih-lebih orang/ras melayu (proto melayu dan deutro melayu) jika tidak boleh menyebutnya sebagai "pribumi" sungguh tengah berda pada posisi yang sangat memprihatinkan, jika tidak boleh mengatakannya "hancur berkeping-keping" ibarat tulang berserakan antara Krawang dan Bekasi seperti lirik sebuah puisi.

Keadaan kualitas orang melayu sepertinya bukan hanya sekadar "dekadensi moral".Barangkali sudah diambang kehancuran.Jadi membicarkannya hakim tidaklah cukup.Sebab hakim itu adalah juga dari bagian dari komunitas yang sudah dalam kondisi seperti seperti diatas.

Masih belum percaya???

Lihat saja contoh sederhana.Yakni prilaku berlalu lintas di jalan raya.
Jalan yang hanya dua lajur untuk kenderaan mobil dibuat menjadi 3 (tiga) atau lebih hingga pengemudi sepeda motor tidak boleh jalan.Jika harus jalan terpaksa harus zigzag atau melewati trotoar layaknya seperti akrobat.

Bahu jalan tol dibuat jadi lintasan.Kenderaan yang lambat mengambil lajur paling kanan. Yang mau mendahului terpaksa harus ambil lajur kiri.Terbalik sudag mereka lakukan.Bertentangan dengan peraturan.Jika diperingati malah ngotot.Terkadang terpaksa saya tabrak.

Mengenai kesemrawutan lalu-lintas di jakarta ini saya sudah surati kepada Kepolisian RI dan hampir kesemua pejabat tinggi dan tertinggi di negara ini.Terkadang saya hampir seperti Rambo di jalanan untuk menegakkan hukum dan tertib lalu-lintas.

Displin dan tertib berlalu-lintas adalah cermin jati diri.

Para pengguna jalan raya bukanlah hanya hakim. Jika mau dibuat statistik kemungkinan besar jumlah hakim sebagai pengguna jalan raya tidak sampai dari 1 permil.

Atau tolong saya ditunjukkan pejabat mana dinegeri ini yang layak ditauladani??? Pejabat mana yang peduli dengan bangsa dan negara Indonesia yang diperjuangkan oleh para pejuang dan pendiri negara Republik Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945.


Untuk itu sebaiknya segenap bangsa Indonesia terlebih-lebih orang Melayu kembali ke basick.Pelajari budaya Indonesia, sejarah Indonesia, perjuangan pergerakan nasional Indonesia.Kenalilah dirimu, kenalilah manusia Indonesia seutuhnya.Kembalilah ke jati diri. Yakni Manusia Indonesia Seutuhnya.


Kembali menjadi manusia Indonesia seutuhnya bukanlah hanya untuk hakim Agung ataupun hakim lainnya.Tetapi untuk semua manusia Indonesia.

Barangkali para pejabat atau yang mengaku pejabat di negeri ini telah lupa apa yang dimaksud dengan manusia Indonesia Seutuhnya.

Oleh karena lupa itu pula ketika Lee Kwan Yew menyebut "negara Indonesia dan Malaysia punya masalah dengan kaum China sehingga kaum china dipinggirkan secara sistematis", tak satupun pejabat negeri ini yang keberatan atas pernyataan Lee Kwan Yew tersebut.

Berbeda dengan pejabat Malaysia yang lansgung memanggil duta besar SIngapore dan meminta agar Lee Kuwan Yew meinta maaf dan menarik pernyataannya itu.

Mengenai pernyataan Lee Kwan Yew tersebut saya menyurati PM Malaysia dan beberapa pejabta tinggi negara Malaysia dan menyampaikan tembusannya kepada pejabat tinggi negarai ini sekiranya dapat mengambil tauladan dari sikap pejabat tinggi negara Malaysia tersebut.

Dalam keadaan seperti ini Komisi Yudisialpun tek harus putus asa dalam melakukan seleksi calon Hakim Agung.Yang perlu dilakukan adalah lebih selektif dan memperhatikan hal yang fundamental.Seperti apa itu hukum, apa itu manusia Indonesia, apa itu negara Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945, apa yang dimaksud dengan Pancasila apa itu pembukaan UUD 1945.Dan lain-lain hal yang sangat mendasar.

karena sepertinya ada kecenderungan pejabat negeri ini lupa dan atau melupakan hal-hal yang sangat mendasar, filosofis tersebut.

Jangan berputus asa.kembalilah ke dasar, jati diri Manusia Indonesia Seutuhnya.

Dengan demikian Insya Allah seluruh masalah yang dialami dan terjadi di negara bangsa ini teratasi dengan baik dan benar.

Insya Allah.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home