RAYA INDONESIA

Wednesday, January 24, 2007

KEMBALI KE UUD 1945 TANPA AMANDEMEN

Gus Dur Pertanyakan Ajakan Yudhoyono Soal Taati Konstitusi

Jakarta, 24 Januari 2007 00:08
Mantan presiden KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mempertanyakan ajakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada seluruh elemen bangsa untuk menaati konstitusi.

Saat menerima kunjungan anggota Fraksi Kebangkitan Bangsa (FKB) DPR RI di Kantor PBNU, Jakarta, Selasa (23/1), Gus Dur justru balik mempertanyakan konstitusi mana yang harus ditaati.

"Seperti yang dikatakan oleh SBY, cabut mandat kepresidenan tidak sesuai dengan UUD. Pertanyaannya, UUD yang mana? UUD 1945 atau UUD hasil amandemen," katanya.

Saat menghadiri penutupan peringatan Hari Bangkit ke-5 Partai Bintang Reformasi (PBR), Sabtu (20/1), Presiden mengajak semua elemen bangsa untuk menghormati dan menaati konstitusi, aturan main dan etika politik dalam berbangsa dan bernegara.

Persoalannya, menurut Gus Dur, saat ini terjadi dualisme konstitusi di tanah air, karena UUD 1945 belum pernah dicabut, sedangkan UUD hasil amandemen juga belum pernah disahkan dan belum tercantum dalam lembaran negara meski sudah diberlakukan secara politis mempergunakan kekuasaan formal.

"Kita bingung akan menaati UUD yang mana," kata Gus Dur yang mengatasnamakan Presidium Komisi Nasional Penyelamat Pancasila dan UUD 1945.

Menurut Gus Dur, adanya dualisme konstitusi tersebut sangat membingungkan sehingga menimbulkan terjadinya krisis konstitusi. Akibatnya, terjadi berbagai pertentangan dan gejolak di tengah masyarakat.

"Karena itu muncul gerakan di luar konstitusi seperti meminta cabut mandat pemerintahan maupun menuntut SBY mundur," kata Gus Dur yang juga Ketua Umum Dewan Syura DPP PKB tersebut.

Untuk menghidari ancaman perpecahan dan berbagai pertentangan itu, saran Gus Dur, Presiden harus menjalankan Pancasila secara murni dengan memberlakukan lagi UUD 1945 hasil Dekrit Presiden 5 Juli 1959.

Dalam kesempatan itu, Gus Dur meminta FKB agar melakukan pengkajian secara lebih mendalam terhadap UUD 1945 maupun UUD hasil amandemen.

"Dari studi itu baru bisa didapatkan pengetahuan yang obyektif sehingga bisa mendapatkan usulan-usulan. UUD (hasil amandemen --Red) saja juga mengusulkan Otda (Otonomi Daerah --Red) yang tidak ada dalam UUD 1945. Nah ini perlu dimasukkan dalam UUD atau cukup dengan UU organik," katanya. [EL, Ant]

Lebih baik terlmabat daripada tak, kira-kira demikian kata-kata yang cocok dengan saran Gus Dur tersebut di atas.

Sebelum amandemen ke 2 dilakukan, himbauan agar hentikan amandemen dan kembali ke UUD 1945 sudah berkali-kali aku sampaikan, mulai pada seminar dan workshop yang diadakan aliansi kampus Indonesia hingga kepada Presiden RI yang ketika itu di jabat oleh Dus Dur, juga kepada ketua MPR-RI yang ketika itu dijabat oleh Amin Rais serta ketua DPR-RI dan semua ketua fraksi DPR-RI, namun sepertinya mereka tak menghiraukan himbauan tersebut.

Mereka terus melanjutkan amandemen hingga amandemen ke empat sudah.

Perlahan tapi sepertinya pasti, akhir-akhirnya tak sedikit pihak mulai resah dan gerah dengan amandemen UUD 1945.

Sepertinya keresahan itu timbul sebagai akibat amandemen UUD telah menghapus ketentuan yang memungkinkan pemberhentian pejabat presiden sebelum masa jabatannya berakhir.MPR tidak mempunyai kewenangan lagi untuk memberhentikan seorang pejabat presiden sebelum masa jabatannya berkahir.Presiden bukan mandataris MPR.Hak rakyat dikebiri.

Rakyat diberi hak untuk memilih tapi tak untuk mencabut atau menarik kembali pilihannya/dukungan itu.Rakyat seolah-olah dijebak. Cilaka deh.......Mirip dengan gaya tipsani.

Tetapi apakah memang harus demikian?

Jika memanag demikian, apakah suatu keadaan yang salah harus dipertahankan dengan berbagai alasan mirip gaya pokrol bambu?

Sekali-kali tidak!!!!

Dalam negara berdasar atas hukum (rechtsstaat), hukum adalah lebih tinggi dari segalanya.Hukum merupakan sumber kedaulatan tertinggi.UUD hanyalah sebagian dari hukum sepanjang secara materill itu benar.Jika tidak benar (salah) maka itu tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, apalagi memaksa.

UUD boleh saja salah, tetapi hukum tak pernah salah.UUD boleh saja tidak adil, tetapi sekali-kali hukum tak pernah tidak adil, hukum pasti adil.

Sesuai dengan prinsip keadilan, jika seseorang iberi hak untuk mendukung atau memilih seseorang, maka tentulah orang itu harus diberi hak untuk menarik dukungan tersebut.Jika tidak, maka itu tentulah bertentangan dengan keadilan, tidak adil.

Oleh karena itu jangan buru-buru berkata, " demonstrasi atau gerakan untuk mencabut mandat adalah bertentangan dengan konstitusi".Sekali lagi jangan!!!


Tidak diatur dalam sebuah UUD belum tentu dan tidak serta-merta bertentangan dengan konstitusi.Sebab konstitusi tidak sama dan sebangun dengan UUD.Konstitusi jauh lebih luas dari sebuah UUD.Konstitusi adalah hukum dasar.UUD hanyalah sebagian dari sebuah hukum dasar.


Jika belum mengerti dengan konstitusi, sebaiknya berhenti berbicara.Sebab dalam hukum sepertinya, lebih baik diam daripada bicara yang salah.Mulutmu adalah harimau mu!!!

Daripada menimbulkan kekacauan lebih baiklah diam!!!

Sekali lagi, sebaiknya ikutilah saran Gus Dur untuk mebali ke UUD 1945 tanpa amandemen yakni UUD 1945 sesuai dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959.

Semoga dengan demikian satu demi permasalahan bangsa dan negara ini terseleseaikan.

Insya Allah!!!!




Tuesday, January 16, 2007

INTERPELASI

Kalimat diatas merupakan judul pemberitaan pada Rakyat Merdeka edisi Jumat, 5 Januari 2007.

Dalam pemberitaan itu antara lain dituliskan :
Kasus haji lapar makin memanas.Pemerintah sudah bersiap diri menghadapi kemungkinan interpelasi oleh DPR.

“Sementara ini pemerintah mengikuti perkembangan yang ada di DPR.kalau sekiranya itu benar menjadi usulan DPR, Presiden tentu akan menjawab dan mengutus salah seorang menteri untuk mewkili beliau,” kata menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra kepada wartawan di Kantor Kepresidenan , Jakarta kemarin.

Ketua Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) DPR Endin AJ Soefihara mengatakan, fraksinya akan menggalang dukungan penggunaan hak interpellasi DPR terkait kelaparan jemaah haji Indonesia di Arab Saudi.

Menurut Endin, penggunaan hak interpellasi itu untuk menindaklanjuti keresahan yang dialami sejumlah anggota DPR yang ikut memenunaikan ibadah haji tahun ini, seperti Lukman Hakim, dan Iedil Suryadi dari fraksi PPP serta Nizar dari Fraksi Bintang Pelopor Demokrasi (BPD).

Judul pemberitan itu kemungkinan ada benarnya.Pemerintah sepertinya tidak perlu keder seandainyapun DPR menggunakan interpelasi.Sebab pemerintah (presiden beserta kabinetnya) barangkali tahu, apasih interpelasi itu.Apa akibatnya?

Mereka tahu, interpelasi tidak dapat menjatuhkan presiden apalagi cabinet? Jadi untuk apa keder.Silahkan interpelasi, bila perlu seribu interpelasi.

Memang dengan system penyelenggaraan negara saat ini setelah amandemen UUD 1945 pemerintah baca; presiden berserta cabinet tidak perlu keder dengan hak interpelasi DPR atau pun hak-hak lain dari DPR, atau bila perlu sekalian dengan hak-hak yang ada pada MPR.Karena hak-hak kedua lembaga ini setelah amandemen UUD 1945 tidak mempunyai daya untuk memberhentikan presiden sebelum masa jabatannya berakhir.

Dengan system yang berlaku setelah UUD 1945 diamandemen, Presiden tidak dapat diberhentikan sebelum masa jabatannya berakhir.Sehingga dengan demikian jika DPR berteriak akan menginterpelasi presiden, maka seandainya hal itu terjadi santai saja deh.Bila perlu tidak perlu mengutus menteri untuk menjawab cukup dengan kurir aja untuk mengantar surat jawaban.

Jadi memang tak perlu keder dengan interpelasi pasca amandemen UUD 1945.Santai aja bro!!! Ibarat kata, anjing menggonggong kafila jalan terus!!!

Apalagi hak interpelasi itu hanya menindaklanjuti keresahan yang dialami beberapa orang anggota DPR yang ikut menunaikan ibadah haji tahun ini.Tidak menyentuh substansi lembaga DPR sebagai perwakilan rakyat.Tidak menyentuh dimmensi kerakyatan, melainkan untuk segelintir pejabat.

Jadi sekali lagi, memang tak perlu keder.

Setelah amandemen UUD 1945, interpelasi tidak mungkin ditindaklanjuti dengan pemanggilan sidang Istimewa MPR untuk meminta pertanggungjawaban presiden yang dapat berujung pada pemberhentian pejabat presiden sebelum masa jabatannya berakhir seperti dianut dalam UUD 1945 sebelum amandemen. Menurut system yang berlaku setelah amandemen UUD 1945, presiden bukan mandataris MPR.Oleh karena itu MPR tidak memiliki kewenangan lagi untuk memberhentikan presiden.
Barangkali akan lain jika interpelasi itu didasari dan menyentuh dikmensi kerakyatan.Misalnya dengan alasan mengapa masih ada rakyat negeri ini harus makan nasi sisa-sisa yang dikeringkan lalu dimasak lagi? Mengapa masih banyak masyarakyat Irian Jaya (Papua) masih miskin padahal harta kekayaan alamnya dieksploitasi besar-besaran entah sudah berapa puluh bahkan ratusan tahun ?
Mengapa tidak mempertanyakan kecelakaan angkutan udara dan laut serta darat yang telah menghilangkan beratus-ratus nyawa? Mengapa tidak mempertanyakan keseimbangan antara perkembangan ekonomi makro dengan membandingkannya dengan eksploitasi kekayaan alam negeri ini.? Bahkan eksploitasi ini diduga sebagai pemicu becana banjir, longsor yang juga telah merenggut beribu-ribu nyawa.

Apa manfaat perkembangan ekonomi makro bagi rakyat kebanyakan
Mengapa tidak menginterpelasi dengan alasan yang menyentuh dimensi kerakyatan?

Meskipun interpelasi paca amandemen UUD 1945 tidak dapat ditindaklanjuti dengan Sidang Istimewa MPR untuk meminta pertanggungan jawab Presiden, apabila alasan interpelasi menyentuh substansi kerakyatan seperti disebut diatas kemungkian pemerintah akan keder.Substansi kerakyatan dimungkinkan mampu membangkitkan kekuatan rakyat untuk memaksa presiden berhenti sebelum masa jabatannya berakhir, mirip pengunduran diri Soeharto dari Jabatan Presiden RI beberapa tahun yang lalu.Meskipun Soeharto tidak menyebut pengunduran dirinya akibat tekanan rakyat dari berbagai elemen.

Sepertinya, dari peristiwa wacana hak interpelasi ini dapat diambil beberapa pelajaran antara lain:
Sepertinya ada kecenderungan para pejabat menjadikan lembaga negara sebagai alat untuk memenuhi kepentingan pribadi dan golongannya.Anggota-anggotanya akan bereaksi ketika kepentingan mereka terusik.Seketika itu mereka akan berbicara dan membirakan hak-hak lembaga negara.Terkadang terkesan sebagai ancaman atau gertakan dengan tujuan, entah apa.Entah itu isyarat untuk mendapat jatah atau upeti, sekali lagi entahlah.
Padahal lembaga negara beserta tugas dan wewenangnya ditujukan untuk kepentingan seluruh rakyat.bukan untuk kepentingan satu golongan tertentu apalagi untuk kepentingan dan memperkaya pejabatnya.Namun sepertinya fakta menunjukkan sebaliknya.Rakyat kebanyakan semakin menderita, untuk makan saja tak mampu beli beras hingga terpasa makan nasi aking. Semententara pejabat-pejabat semakin kaya dan berlimpah uang, rumah dan mobil mewah.
Mengapa demikian?
Entahlah.......
Jadi tidak perlu heran jika Presiden tidak keder dengan interpelasi.Kemungkinan pasca amandemen UUD 1945.Barangkali presiden akan keder dengan intervensi oleh negara super power.Digulingkan dengan campurtangan negara lain karena tidak mensejahterakan rakyatnya.
Entahkah harus terjadi peristiwa yang dialami oleh Saddam Husein?
Entahlah......?
Sepertinya yang penting bagi rakyat kebanyakan adalah p agar pejabat pada semua lembaga pemerintahan pada masa depan sadar akan tugas dan fungsinya.Melayani rakyat, mewujudkan kesejahteraan yang berkeadilan bagi rakyat.
Semoga, Insya Allah.