RAYA INDONESIA

Thursday, July 20, 2006

JANGAN IKUTI POLITIK BERMUKA GANDA

KewarganegaraanStatus Baru Warga Keturunan"Merdeka!" teriak Rini Rollands, 37 tahun, begitu pimpinan sidang paripurna DPR, Soetardjo Soerjogoeritno, mengetukkan palu pengesahan RUU Kewarganegaraan, Selasa lalu. Sejurus kemudian, ia mengelus perutnya yang tengah hamil tujuh bulan. "Ini untuk anak saya," katanya. Jabang bayi dalam kandungan itu, Rini menambahkan, merupakan buah cintanya dengan Kevin Rollands asal Amerika Serikat.Rini pantas lega. Sebab, saat anak pertamanya itu nanti lahir, ia tidak bingung lagi dengan status kewarganegaraan si kecil. "Undang-undang yang baru menjamin anak saya mendapat kewarganegaraan RI," tuturnya. Perasaan yang sama membuncah di hati belasan perempuan lain yang tergabung dalam Keluarga Perkawinan Campuran Melalui Tangan Ibu (KPC Melati). "Ini sangat baik, bagus sekali," tutur Marcellina, kawan Rini, sambil bercucur air mata.Pengesahan Undang-Undang (UU) Kewarganegaraan ini juga disambut kalangan keturunan Tionghoa. Meski sempat ketar-ketir, Rebeka Harsono, Pelaksanaan Harian Lembaga Anti-Diskriminasi di Indonesia, mengaku puas. Ia sempat khawatir karena Pasal 4 poin (g) yang berbunyi: "WNI adalah anak yang lahir di wilayah negara RI yang pada waktu lahir tidak jelas status kewarganegaraan ayah dan ibunya," sempat diisukan dihapus.Padahal, poin itu sangat penting bagi kebanyakan keturunan Tionghoa. Antara lain Tionghoa asal Tangerang yang lazim disebut Cina Benteng. Banyak di antara mereka yang tidak jelas kewarganegaraan karena tidak memiliki surat bukti kewarganegaraan Indonesia. "Bukan tidak mau mengurus, tapi mereka terlalu miskin untuk memikirkan hal itu," katanya.Akibatnya, anak yang lahir dari keturunan Cina Benteng ikut-ikutan tidak jelas status kewarganegaraannya. Dengan pasal itu, kata Rebeka, para keturunan Tionghoa tadi bisa mendapatkan kewarganegaraan Indonesia secara otomatis. Untunglah, pasal tersebut tidak dihapus, hanya dipindah menjadi poin (i). Karena itu, Rebeka dan rombongan urung melancarkan protes.Undang-undang itu sendiri memang dianggap revolusioner. Dalam catatan anggota Fraksi PPP, Lukman Hakim Syaifuddin, setidaknya ada tiga paradigma baru dalam memandang kewarganegaraan RI. Soal Indonesia asli, misalnya. Selama ini, dalam paradigma lama, warga keturunan tidak dianggap sebagai Indonesia asli.Dalam prakteknya, ini mengakibatkan diskriminasi, terutama bagi warga keturunan Tionghoa. "Seakan-akan mereka bukan bangsa Indonesia asli. Padahal, mereka lahir di Indonesia, orangtuanya WNI yang juga lahir di Indonesia," katanya. Nah, dengan undang-undang ini, mereka otomatis dianggap sebagai Indonesia asli, termasuk warga keturunan India atau Arab.Paradigma lain menyangkut kewarganegaraan ganda (bipatride). Selama ini, kata Lukman, Indonesia tidak mengakui asas itu. Kenyataannya, prinsip ini kerap melanggar hak asasi anak-anak hasil perkawinan campuran. Dulu anak hasil perkawinan perempuan Indonesia dengan laki-laki asing dengan sendirinya dianggap sebagai warga negara asing.
Demikian antara lain ditulis dalam Gatra.com
Siapapun boleh berbangga dengan apa yang diinginkannya.
Namun yang perlu dan terutama untuk dan harus diingat dan tidak boleh di abaikan adalah keadilan.
Sepertinya, berbangga dalam suatu ketidak adilan bukanlah sikap terhormat bukan pula sikap yang beradab.
Untuk itu keadilan sepertinya harusnya menjadi perhatian dan pertimbangan pokok dan utama.

Dalam hidup dan kehidupan sepertinya "memilih" satu dari banyak pilihan adalah konsekuensi.

Tentang garis keturunan Indonesia cenderung memilih dan mengikuti garis ayah.Dan sepertinya itulah kecenderungan di dunia ini.Nabi Isa (Yesus Kristus) sepertinya adalah pengecualian.Dalam hubungannya dengan garis keturunan Nabi Isa dihubungkan dengan Bunda Maria; Isa bin Mariam (Isa anak Ibu Marian) selainnya sepertinya selalu dihubungkan dengan ayahnya.

Saya tidak tahu aliran mana yang diikuti atau yang menjadi landasan filosofis UU Kewarganegaraan yang baru ini.
Hanya saja sebaiknya jangan ikuti politik bermuka ganda, bermuka dua.Seperti yang dianut di negeri tirai bambu (barangkali itu yang disebut RRC).

Semoga saja UU Kewarganegaraan yang baru itu tidak untuk menggampangkan perkawinan.Untuk mengakomodir kewarganegaraan anak-anak yang perkawinan orangtuanya "ada masalah'.Maka jika itu yang terjadi, patut disebut sebagai keprihatinan yang sangat, "slobonyok" kata saudara kita dari daerah Jateng sana.
Dan jika UU Kewarganegaraan yang baru itu juga bermaksud dan menindaklanjuti penghapusan kata Orang Indonesia asli dari UUD 1945, maka patut diduga UUKewarganegaraan yang baru itu sebagai pertanda penjajahan modern.

Adanya istilah orang Indonesia asli bukanlah berarti diskriminasi.Dan jika itu tetap dianggap diskriminasi, maka itu adalah diskriminasi positif yang dibenarkan dalam hukum.

Keberadaan Orang Indonesia asli itu adalah suatu kepastian, setidak-tidaknya mendekati kebenaran.Oleh karena itu harus diakui keberadaannya.Menghapuskan keberadaanya patutlah diduga sebagai suatu kejahatan.

Demikianpun tentang keturunan Tionghoa adalah suatu kebenaran yang harus diakui keberadaannya.

Jelaskan, nyatakan asal-usul anda, jangan samarkan, jangan gelapkan!!!
Ketahui dan Ingat!!! Penggelapan adalah suatu kejahatan!!!

Untuk menghindari semakin kacaunya situasi hidup dan kehidupan berbangsa dan bernegara, maka sebaiknya para pembuat UU (anggota DPR-RI) banyak belajar dulu sebelum membuat atau merubah suatu UU.

Lebih baik diam (tidak membuat UU) daripada asal-asalan tanpa pertimbangan filosofis yang mendalam dan konfrehensif.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home